Bagaimana Menanggapi Pandemi dalam Iman Katolik?
Kita semua familiar dengan yang dinamakan duka atau kesedihan. Kita merasakan duka terutama ketika kita mengalami kehilangan yang tidak direncanakan, contohnya ialah kematian orang yang dicintai. Bahkan hanya dengan berbicara tentang kehilangan, hanya dengan mengenang dan menghormati siapa atau apa yang telah hilang, kita bisa saja tanpa sadar mengeluarkan air mata/menangis, sebagai ekspresi eksternal dari kesedihan kita.
Dalam menjalani kehidupan ini, kita tidak akan bisa menghindari duka/kesedihan, termasuk ketika kita tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang saat ini sedang terjadi. Pandemi saat ini sama sekali tidak ada dalam rencana kita. Semua harapan dan mimpi kita seolah berubah ketika kita bertatap muka dengan pandemi global saat ini. Namun di dalam situasi yang sulit, kita diingatkan oleh sabda Yesus:
“Berbahagialah mereka yang berdukacita, karena mereka akan dihibur!” (Mat. 5:4)
Pertanyaannya, mudahkah melakukan itu semua?
Tidak ada yang suka merasakan kesedihan. Tidak ada yang memilih demikian. Kesedihan bisa sangat menyakitkan sehingga kita ingin menghindarinya dan lepas darinya. Namun kita patut menyadari bahwa kesedihan adalah salah satu bagian dari kehidupan kita di dunia yang fana ini, bagaimanapun bentuknya. Sebagai pengikut Kristus, kita pertama harus menyadari bahwa sangatlah normal untuk merasakan ketakutan dan kekhawatiran, kesedihan dan luka. Bukan berarti kita menjadi kurang beriman! Yang menjadi keliru adalah ketika kita memilih tinggal dalam kondisi itu.
Ngomong kesannya gampang banget, ya? Yuk kita coba melihat Yesus. Kesedihan bukanlah suatu hal yang asing bagi Yesus. Yesus sendiri mengalami banyak kesedihan dalam kehidupan duniawi, salah satu contohnya ketika Ia menangis dalam kematian Lazarus - Ia ikut merasakan kehilangan Lazarus bersama keluarganya, sekalipun Dia tahu bahwa Dia dapat membangkitkan Lazarus dari kematian. Selain itu, Yesus juga menghadapi kenyataan pahit dimana Ia ditolak di Nazaret, karena mereka tidak menginginkan mantan tukang kayu menjadi nabi dan guru. Yang patut kita sadari adalah, Tuhan tidak akan memberi kita rasa sakit yang lebih besar daripada yang dapat kita tanggung, dan andaikata kita merasa tidak mampu pun, __Ia selalu siap untuk menyertai dan menguatkan kita.Duka, Duka, dan Yesus. __
Kita semua familiar dengan yang dinamakan duka atau kesedihan. Kita merasakan duka ketika terjadi suatu kehilangan yang tidak diminta/direncanakan, contohnya berasal dari kematian orang yang dicintai. Bahkan hanya dengan berbicara tentang kehilangan, hanya dengan mengenang dan menghormati siapa atau apa yang telah hilang, kita bisa saja tanpa sadar mengeluarkan air mata/menangis, sebagai ekspresi eksternal dari kesedihan kita.
Dalam menjalani kehidupan ini, kita tidak akan bisa menghindari duka/kesedihan. Termasuk ketika kita tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang saat ini sedang terjadi. Di dalam situasi yang sulit, kita diingatkan oleh sabda Yesus:
“Berbahagialah mereka yang berdukacita, karena mereka akan dihibur!” (Mat. 5:4)
Pertanyaannya, mudahkah melakukan itu semua?
BOBBY ANGEL dalam Catholicism after Coronavirus menuliskan “You can’t give what you don’t have” - Tuhan tidak akan memberi kita rasa sakit yang lebih besar daripada yang dapat kita tanggung, dan andaikata kita merasa tidak mampu pun, Ia selalu siap untuk menyertai dan menguatkan kita. Jika ingin menangis pun, tidak masalah! Menangis karena kehilangan bukanlah sesuatu yang aneh, dan tidaklah berarti kamu “kurang beriman” ketika kamu merasakan segala macam emosi: ketakutan, kesedihan, kekhawatiran, dsb. Lihatlah Yesus dalam kisah kematian Lazarus. Dia membiarkan Diri-Nya menangis, merasakan kehilangan Lazarus bersama keluarganya, sekalipun Dia tahu bahwa Dia dapat membangkitkan Lazarus dari kematian.
Yesus sendiri mengalami banyak kesedihan dalam kehidupan duniawi selain menangisi Lazarus dan orang-orang yang dikasihi-Nya. Yesus juga menghadapi kenyataan pahit dimana Ia ditolak di Nazaret, karena mereka tidak menginginkan mantan tukang kayu menjadi nabi dan guru. Kita dapat menjadi manusia yang lebih utuh ketika kita merasa kehilangan.
Tidak ada yang suka merasakan kesedihan. Tidak ada yang memilih. Kesedihan bisa sangat menyakitkan sehingga kita ingin menghindarinya dan lepas darinya. Begitu banyak yang membutuhkan dukungan sosial yang tidak sepenuhnya dapat diperoleh di rumah, namun situasi pandemi saat ini “memaksa” kita semua untuk membatasi interaksi satu sama lain. Kita diajak untuk lebih melihat ke sekeliling kita, untuk lebih peduli satu sama lain, tidak hanya kepada diri sendiri.Sekarang kita menyadari bahwa kita harus menjadi lebih toleran terhadap rasa sakit kita secara individu dan kolektif. Hebatnya, itu baik bagi kita sebagai manusia dan sebagai orang Kristen untuk mengalami kesedihan dan saling mendukung dalam hal itu pengalaman. Kita perlu mempelajari manfaat kesedihan dalam hal persekutuan dengan Tuhan yang mengorbankan Putra-Nya, dalam persekutuan dan belas kasih dengan orang lain. Tindakan belas kasih spiritual Sebagai keluarga Gereja, membutuhkan cara yang lebih baik untuk memberikan dukungan semacam itu satu dengan yang lain. Untungnya, Gereja Katolik menawarkan kita jalan ke depan. Penghiburan, yang mencerminkan salah satu spiritual tindakan belas kasihan: Begitu juga ketika seorang anggota Tubuh Kristus mati, umat beriman dipanggil untuk pelayanan penghiburan untuk mereka yang telah menderita kehilangan orang yang mereka cinta. Penghiburan Kristen berakar pada harapan bahwa iman akan kematian dan kebangkitan yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus Kristus.
Anda tidak dapat memberikan apa yang tidak Anda miliki, menurut kesaksian dari Bobby Angel yang mengatakan bahwa: __“kita kembali belajar pelajaran spiritual sederhana yang menyakitkan pada musim panas lalu ketika saya merasa jauh dari kasih dan damai Yesus Kristus”. __ “Saya pikir secara kolektif semua harapan 2020 kami dan mimpi-mimpi kami berubah ketika kita bertatap muka dengan pandemi global dan dalam kerusuhan rasial. Sebagai orang tua dan guru sekolah Katolik, saya sudah terbiasa dengan murid-murid yang memandang seolah-olah saya memiliki kebijaksanaan dan pengalaman hidup yang cukup untuk menjelaskan semuanya. Seperti mayoritas dunia, aku tidak memiliki jawaban dalam menghadapi saat-saat yang sulit. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa kecuali saya memusatkan kembali hidup di atas Kristus dan damai sejahtera yang hanya dapat diberikan oleh-Nya.” UNDANGAN UNTUK KITA
Saat mendengar tentang Covid 19, yang terbayang di dalam pikiran kita adalah kematian. Kini Yesus mengajarkan bahwa bukan kematian lagi yang ada di dalam pikiran kita tetapi harapan akan kasih karunia Allah yang selalu mengasihi dan menjaga kita dari segala ketakutan dan kekhawatiran dalam hidup. Pada masa pandemi ini, kita diajak lebih membuka diri kepada sesama seperti yang telah dilakukan oleh Yesus:
“Anak manusia datang untuk melayani bukan untuk dilayani.” (Mat 20:28)
Kita saling menguatkan, kita yang masih sehat ini dapat menjadi inspirasi dan dukungan dengan membantu mereka yang tertimpa musibah karena pandemi Covid 19. Bentuk nyata pelayanan itu bisa berupa bantuan untuk melayani mereka dalam kebutuhan fisik yaitu makanan dan obat-obatan, doa dan juga dukungan semangat.
Sebanyak apapun kebijaksanaan dan pengalaman hidup yang dimiliki seseorang, tetap tidak akan memiliki jawaban yang jelas dalam menghadapi saat sulit seperti ini. Kita diundang untuk menyadari bahwa kita sepatutnya memusatkan kembali hidup di dalam Kristus dan mencari damai hanya di dalam-Nya.
Yesus mengajak kita bukan berfokus kepada segala macam ketakutan dan kekhawatiran, juga kehilangan dan kematian, melainkan memenuhi hati dan pikiran kita dengan harapan akan kasih karunia Allah, kita mengimani bahwa Ia adalah Bapa yang selalu mengasihi dan menjaga kita. Dengan iman dan pengharapan itulah, kita dapat melangkah maju di tengah situasi sulit ini.
Dengan berpegang kepada Yesus, dan bukan dunia ini.
Selain itu, pada masa pandemi ini, kita diajak untuk lebih melihat ke sekeliling kita, untuk lebih peduli satu sama lain, tidak hanya kepada diri sendiri. Dunia ini tengah sakit, dan kita diajak untuk ikut merasakan kesedihan dan rasa sakit yang dirasakan oleh sesama kita. Kita diundang lebih membuka diri kepada sesama seperti yang telah dilakukan oleh Yesus: “Anak manusia datang untuk melayani bukan untuk dilayani.” (Mat 20:28). Kita saling menguatkan dan memberikan dukungan satu sama lain, jika memang tidak bisa menolong secara fisik, kita dapat menyalurkan doa dan ungkapan semangat. Dan mungkin itulah yang dibutuhkan dunia daripada hanya sekedar khotbah belaka.
Allah sendiri telah memberikan Putra-Nya yang tunggal, dikorbankan untuk menebus dosa kita semua, karena kasih-Nya yang luar biasa besar kepada kita. Dan Ia ingin agar kasih yang Ia berikan kepada kita, juga dibagikan kepada yang lain, dengan semangat Kristus, dimana kita menjadi satu bersama Tuhan dan sesama dalam suatu persekutuan berbelas kasih.
Bobby Angel dalam Catholicism after Coronavirus menuliskan “You can’t give what you don’t have” - mungkin memang tidak mudah bagi kita hadir secara fisik bagi mereka yang terdampak pandemi (sakit), atau bagi kita untuk membantu dalam hal materi dalam jumlah besar. Namun kita memiliki kasih Kristus dalam diri kita, kita mendapatkan penghiburan dari-Nya senantiasa. Kasih dan penghiburan itulah yang dapat kita bagikan kepada mereka yang saat ini tengah menderita.
Kita semua adalah kesatuan dalam satu Tubuh Kristus: ketika ada seorang anggota Tubuh Kristus yang merasakan penderitaan dan/atau kehilangan orang yang mereka cintai, maka umat beriman dipanggil untuk memberikan penghiburan kepada mereka. Penghiburan ini berakar kepada harapan dan iman akan kebangkitan yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus Kristus.
Biarkanlah dunia ini dapat merasakan kasih Kristus melalui kita semua. Dan dengan kasih itu, semoga dunia ini dapat segera sembuh.
Oleh: Sr. Brigida Soares I @sr.brigidasoares