Belajar Jadi Pelaku Ajaran Sosial Gereja (ASG) dari Sang Bunda
Bulan Oktober, Bulan Rosario – momentum dimana Gereja mengajak putra-putrinya mempersembahkan rosarium, “untaian mawar yang harum”, yakni doa-doa kita kepada Bunda Maria, Bunda kita semua– baru saja kita tinggalkan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal dapat kita timba dari Sang Bunda yang belajar beriman dari Putra Allah yang menjelma menjadi manusia.
Mengapa dari Maria? Berkaca pada hiruk pikuk hari-hari ini, entah melalui layar kaca, media sosial, atau dalam keseharian, tampak jelas nilai-nilai kemanusiaan semakin langka dan dijungkirbalikkan demi kepentingan sesaat. Ujaran kebencian, hoax, korupsi, diskriminasi SARA, dan praktik-praktik nista bisa jadi bukti perendahan martabat manusia, merosotnya moral, dan pincangnya praktik baik kemanusiaan. Konflik antarbangsa, perlombaan senjata, arus deras pengungsian dan berbagai problematika di penjuru bumi makin mencemaskan kita menatap masa depan dunia. Haruskah?
Bisa jadi situasi kebatinan umat Israel jelang kelahiran Yesus sama seperti kita. Pesimis, terpuruk, tertindas, miskin. Namun seorang Perawan dari Nazaret memiliki iman yang berbeda, yang membuat Allah Perjanjian menggenapi nazar-Nya kepada umat-Nya, yakni pembebasan dari segala dosa dan datangnya Kerajaan Allah yang tak berkesudahan. Oleh “fiat”-nya kepada rencana cinta kasih Allah, atas nama segenap umat manusia, Maria menerima Dia yang diutus oleh Bapa, Sang Penebus umat manusia. Dalam Magnifikat-nya Maria mewartakan penantian rahasia keselamatan, kedatangan “Mesias kaum miskin” (bdk. Yes 11:4; 61:1) (bdk. Kompendium ASG, 59).
Sejak menerima Kabar Gembira, mengandung Putra Allah, hingga mengidungkan Magnificat, Maria jelas sekali berproses dalam dirinya untuk menerima tugas perutusan dan ikut andil secara aktif dalam Karya Penyelamatan Allah. Maria itu total pada Allah (bdk. Kompendium ASG, 59). Ia terbuka dan mau belajar. Maka, Gereja mendapatkan jembatan untuk menggali ASG dari Yesus melalui Maria, sebagaimana Paus Fransiskus bahwa ASG sejatinya adalah Jantung Injil karena berasal dari Yesus sendiri (bdk. DOCAT).
Apa yang Harus Dilakukan? ASG mengupayakan segala sesuatu yang positif dan proaktif hingga menawarkan perubahan tindakan. Gereja terus-menerus menjadi tanda harapan yang dipenuhi dengan kasih Yesus Kristus (Evangelii Gaudium 183). Artinya, sebagaimana Maria, kita harus memelihara sikap iman yang terbuka, proaktif, dan positif dalam balada kehidupan ini. “Hanya pertobatan hati yang mampu membuat dunia yang penuh teror dan kekerasan ini menjadi lebih manusiawi”, “Tidak ada lagi yang mengubah dunia selain mereka yang bersama Yesus dan mengabdikan hidup untuk perubahan itu, serta bersama Dia pergi menjumpai orang miskin di tempat-tempat kotor..”, ungkap Paus Fransiskus (bdk. DOCAT).
Paus St. Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik Solicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial) art. 49, salah satu tonggak ASG, mengundang Gereja semakin mengarahakan pandangannya kepada Santa Maria, karena dia mendahului kita menempuh peziarahan iman, menjadi pengantara kita dengan kasih keibuannya di hadirat Puteranya, Penebus kita. Oleh sebab itu, tak salahlah kita diundang untuk mempercayakan hidup kita dengan antifon Sub Tuum Praesidium, yang akhir-akhir ini dihimbau untuk didoakan usai Rosario.
Bukan kebetulan jika World Youth Day 2019 di Panama mengusung tema Fiat Maria –“Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Nya” (Luk 1:38)– yang memungkinkan Kabar Sukacita berinkarnasi menjadi Sang Ajaran Sosial Allah. Maka, melalui Maria, sebagai mater et magistria, kita belajar menjadi pelaku ASG dengan sikap positif, terbuka, proaktif sambil lakukan pertobatan hati. Nah, maukah Anda meneladan Maria? Kalau saya, jawabannya tegas, seperti slogan kampanye DOCAT, “Yes, I do!”
RD. Dr. Benny Suwito dan Willem L. Turpijn (ditulis dalam rangka Bulan Rosario 2020)