Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus
Pada tahun 1263, sebuah mukjizat terjadi di Bolsena. Petrus dari Praha, seorang imam Jerman yang sedang dalam perjalanan ke Roma, mampir di Bolsena untuk merayakan Misa di gereja Santa Kristina. Sembari ia mengucapkan kata-kata konsekrasi, tetesan darah merembes dari Hosti yang telah dikonsekrasi tersebut dan menetes ke korporal.
Setelah mengkonfirmasi mukjizat itu, Paus Urbanus IV menugaskan Santo Thomas Aquinas (1225-1274) untuk mengarang teks proprium Misa dan Ibadat untuk menghormati Sakramen Ekaristi. Pada tanggal 11 Agustus 1264, Paus yang sama menetapkan Pesta Tubuh Kristus. Dia juga memerintahkan pembangunan Katedral Orvieto, yang dimulai pada tahun 1290. Sampai hari ini, korporal suci dengan tetesan darah Kristus itu disimpan di Katedral ini.
Santo Thomas memang dikenal sebagai penyair Ekaristi. Sebuah madah Ekaristi yang terkenal dan diatribusikan kepada santo ini adalah Adoro te devote. Pada Pesta Tubuh Kristus ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk menilik dua bait dari madah ini. Dengan demikian, kita bisa mencicipi betapa besarnya cinta Santo Thomas akan Ekaristi dan mengikuti teladannya.
Bait Pertama. Aku menyembah-Mu dengan penuh hormat, ya Allah yang tersamar, / yang sungguh tersembunyi di balik rupa-rupa ini. / Seluruh hatiku tertunduk kepada-Mu, / karena ketika aku memandang Dikau, hampa lainnya.
Bait pertama dibuka dengan pernyataan: “Aku menyembah-Mu dengan penuh hormat.” Kata Latin adorare—yang diterjemahkan menjadi “menyembah”—berasal dari kombinasi dua kata—ad (ke) dan os (mulut)—yang merujuk pada gerakan meletakkan tangan ke mulut sebagai ekspresi takjub. Bukankah ini merupakan sikap kita yang seharusnya di hadapan Sakramen Mahakudus?
Namun, siapa yang kita sembah? Kita menyembah “Allah yang tersamar, yang sungguh tersembunyi di balik rupa-rupa ini.” Ketika kita menyembah Sakramen Mahakudus, kita menyembah Allah sendiri! Dia ada di sana meski Dia tidak terlihat oleh mata kita. Manna yang dimakan oleh orang Israel di padang gurun hanyalah sebuah gambaran dari makanan rohani. Roti Ekaristi, sebaliknya, mengandung apa yang ia tandakan, yakni Kristus sendiri—sungguh Allah, sungguh manusia. Konsili Trente menegaskan bahwa “dalam Sakramen Ekaristi yang Mahakudus, dengan benar, sungguh, dan substansial terkandung Tubuh dan Darah bersama dengan Jiwa dan ke-Allah-an Tuhan kita Yesus Kristus dan, dengan demikian, seluruh Kristus” (DS 1651).
Oleh apakah ke-Allah-an itu tersembunyi? Oleh rupa roti. Kita melihat sesuatu yang tampak seperti roti namun sesungguhnya bukan roti. Hal ini dapat kita bandingkan dengan pengalaman melihat sebuah patung salib: tampaknya Yesus ada di patung salib itu, tetapi sebenarnya Ia tidak ada di sana—itu hanyalah sekadar patung. Sesuatu yang berbeda terjadi ketika kita memandang Ekaristi: Yesus tampaknya tidak ada di sana, tetapi sesungguhnya Ia ada di sana.
Di saat ini, kamu atau temanmu di luar sana mungkin berkata: “Tidak masuk akal. Apakah Anda mengajak saya untuk beriman bahwa sepotong roti yang saya lihat bukanlah roti, tetapi Tubuh Kristus? Mustahil.” Terkadang, iman memang tampak bertentangan dengan akal budi. Akan tetapi, pertentangan ini sesungguhnya tidak ada: iman memang melampaui akal dan menyangkut hal-hal yang tidak terlihat. Namun, iman tidak bertentangan dengan akal budi.
Sesungguhnya, iman bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Beriman berarti mempercayai sesuatu berdasarkan kesaksian orang lain. Contohnya, sebagian besar dari kita belum pernah berkunjung ke Madagaskar. Namun, kita percaya akan keberadaan negara tersebut. Bukankah ini sebuah bentuk dari iman—iman manusiawi? Kita percaya akan keberadaan Madagaskar karena buku-buku dan jurnalis memberitahu kita bahwa tempat ini benar-benar ada. Ini adalah iman manusiawi yang didasarkan pada kesaksian orang lain.
Sekarang: seberapa kuat iman kita seharusnya ketika iman itu didasarkan bukan hanya pada kesaksian manusia namun pada kesaksian Allah? Kita percaya bahwa, setelah konsekrasi dalam Misa Kudus, roti bukan lagi roti, tetapi Tubuh Kristus. Kepercayaan kita ini berlandaskan apa yang telah Allah sampaikan kepada kita: kita percaya karena Yesus memberikan potongan roti kepada murid-murid-Nya sembari berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku” (Mat 26:26). Ingatlah bahwa Allah tidak bisa menipu atau ditipu. Dia adalah Kebenaran itu sendiri.
Bait Kelima. O peringatan kematian Tuhan! / Roti hidup yang memberi hidup kepada manusia! / Biarkanlah jiwaku hidup dari-Mu / dan selalu mengecap kemanisan-Mu.
“O peringatan kematian Tuhan!” Hanya ada satu kurban—kurban Kristus di salib. Akan tetapi, ada perbedaan antara kurban Kristus di Salib dan kurban Kristus dalam Misa perihal cara mempersembahkannya. Kurban Kristus di salib adalah pengorbanan berdarah yang dipersembahkan oleh-Nya sendiri, sedangkan kurban Kristus dalam Misa adalah kurban tak berdarah yang dipersembahkan oleh Kristus melalui pelayanan seorang imam. Terlepas dari perbedaan ini, keduanya adalah pengorbanan yang satu dan sama yang dipersembahkan oleh pribadi yang sama, Yesus Kristus.
Ekaristi, dengan demikian, bukanlah roti biasa, melainkan “roti hidup yang memberi hidup kepada manusia!” Jika kita benar-benar percaya bahwa Ekaristi adalah roti hidup, bagaimana selayaknya sikap kita ketika kita menerimanya?
Memang benar bahwa, dalam penerimaan Ekaristi, hal yang paling penting adalah persiapan hati. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa apa yang tampak dari luar mencerminkan sikap batin kita. Inilah sebabnya kita berpakaian anggun saat menghadiri pesta pernikahan: penampilan kita menunjukkan rasa hormat kita terhadap penjamu dan tamu-tamu lainnya.
Demikian pula cara kita menerima Yesus dalam Ekaristi menunjukkan sikap batin kita terhadapnya. Gereja mengizinkan kita menerima Ekaristi dengan salah satu dari dua cara berikut: di tangan atau di lidah. Namun, perlu diingat bahwa Gereja selalu mengunggulkan penerimaan komuni di lidah. Mengapa? Karena cara penerimaan ini lebih menonjolkan penghormatan, pengabdian, kepatuhan, kerendahan hati, dan pemujaan kita terhadap Sakramen Mahakudus. Dengan penerimaan di lidah, pencemaran dan kejatuhan partikel-partikel Ekaristi juga lebih mudah dihindari. Cara penerimaan ini juga secara lebih tegas menekankan bahwa keselamatan seseorang tidak datang dari diri sendiri: dengan menerima Tubuh Kristus di lidah, kita disadarkan bahwa kita diberi makan makanan surgawi. Kita tidak mengambil sendiri makanan tersebut. Sebaliknya, makanan tersebut diberikan kepada kita.
Terakhir, mengingat pentingnya Ekaristi, bagaimana kita menjadikan Ekaristi pusat hidup kita? Dengan mempersiapkan Misa dengan baik dan mengucap syukur setelahnya. Pada hari-hari menjelang Misa hari Minggu, kita bisa membuat niat untuk mempersembahkan segala pekerjaan dan tindakan cinta kasih kita dalam Misa hari Minggu. Dengan demikian, kita tidak datang ke Misa dengan tangan kosong. Sebaliknya, kita bisa menyatukan persembahan kita dengan persembahan Kristus.
Lalu, setelah Misa selesai, kita hendaknya tidak meninggalkan gereja dengan tergesa-gesa kecuali ada keadaan darurat. Mengapa? Karena “kehadiran Kristus dalam Ekaristi dimulai pada saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa-rupa Ekaristi itu ada” (KGK, §1377). Kita baru saja menerima Tuhan: dia sekarang hadir di dalam tubuh kita dan akan tinggal di sana kira-kira selama lima belas menit. Mengapa kita harus terburu-buru? Mengapa kita dengan ceroboh melewatkan kesempatan emas untuk bercakap-cakap dengan Tuhan, yang sekarang tidak hanya berada di Tabernakel gereja, tetapi juga di dalam tubuh kita?
Karena Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup kita sebagai orang kristiani, penerimaan komuni pertama perlu disiapkan dengan katekese yang mencukupi. Kurun waktu katekese ini tergantung dari kebijakan keuskupan masing-masing. Namun, setidaknya, kita sadar bahwa persiapan yang matang merupakan sebuah keharusan karena yang akan kita terima dalam Ekaristi bukanlah roti dan anggur biasa, melainkan Tubuh dan Darah Kristus sendiri.
by: Fr. Kenny Ang