Menderita Untuk Menyelamatkan
Devosi Rosario hari Minggu malam ini berujung pada sebuah renungan yang berasal dari Rangkaian Peristiwa Mulia: Yesus bangkit dari antara orang mati, Yesus naik ke surga, Roh Kudus turun atas Para Rasul, Maria diangkat ke surga, dan Maria dimahkotai di surga. Satu hal yang baru kusadari, bahwa peristiwa-peristiwa tersebut seakan memisahkan jelas tentang dua hal, yakni 'atas' dan 'bawah', surga dan dunia. Sebuah pemisahan jelas pula tentang makna di dalamnya yang kontradiktif, bahwa 'atas' dan surga memiliki derajat yang lebih tinggi daripada antonimnya. Sebuah tesa dan antitesa.
Hal yang sama juga terjadi dalam 'penderitaan' dengan antonimnya 'keselamatan'. Penderitaan (suffering) berasal dari kata Bahasa Latin Sub- (from below) dan ferre (to bear), yang dapat dikatakan bahwa penderitaan merupakan suatu 'tanggungan' yang harus dipikul dan dihadapi. Penderitaan menjadi sebuah realitas dalam kehidupan, tak lebih karena kita berada di 'bawah', di dunia, dengan segala 'kurang derajatnya' jika dibanding 'atas' dan surga. Penderitaan menjadi sebuah realitas yang mengindikasikan bahwa kita adalah manusia dengan segala keterbatasannya.
Telah menjadi maklum apabila manusia tidak bisa lepas dari penderitaan, entah itu dalam rupa sakit fisik, sakit secara mental dan spiritual, kesedihan, kekecewaan, keputus-asaan, dan berbagai rupa bentuk penderitaan, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Bagaimanapun kita, siapa, apa, kapan, dan dimanapun kita berada, kita tidak bisa menjauh dari penderitaan, seakan sudah menjadi bagian dari diri kita.
Namun bukankah penderitaan juga menjadi 'satu paket' dalam Karya Penyelamatan Yesus Kristus? Ia, yang rela turun ke dunia (ke 'bawah') menjadi serupa dengan manusia dan dengan segala kefanaannya, telah menderita dan wafat demi menyelamatkan kita. Ia yang melewati pemisahan tegas antara tesa dan antitesa, telah menjadi 'kurban' yang menghapus dosa kita. Ia menerima penderitaan - yang atas kesalahan kita - mengubahnya menjadi keselamatan. Ia memutus garis pemisah antara dua hal kontradiktif tadi: 'penderitaan' dan 'keselamatan'. Ia, sang Anak Domba Allah dan Kurban Paskah, menerima penderitaan atas bagian dari Karya Penyelamatan-Nya.
Kita pun, dengan setiap penderitaan kita dalam berbagai bentuknya, merupakan sebuah bagian dari Karya Penyelamatan Allah. Mengutip dari Surat Apostolik Salvifici Doloris dari Paus Yohanes Paulus II artikel 23, "Mereka yang turut berbagi dalam penderitaan Kristus melihat Misteri Paskah dari Salib dan Kebangkitan di depan mata mereka, sebagaimana Yesus pun merendahkan diri, pada fase pertama, sampai pada batas kelemahan dan ketidak berdayaan manusia: kemudian Ia mati dipaku pada kayu Salib. Namun jika pada saat yang sama, dengan kelemahanlah Ia ditinggikan, dan diteguhkan dengan kuasa dari Kebangkitan, maka ini artinya kelemahan semua manusia juga dapat diikutsertakan dalam kuasa Allah yang sama yang dimanifestasikan pada Salib Kristus. Dalam konsep seperti ini, menderita berarti menjadi terbuka, terutama terbuka untuk pekerjaan kuasa penyelamatan Allah, yang ditawarkan kepada manusia di dalam Kristus. Di dalam Dia, Allah telah membulatkan keinginan untuk bertindak terutama melalui penderitaan, yang merupakan kelemahan dan pengosongan diri manusia, dan Ia berkehendak untuk menyatakan kuasa-Nya khususnya melalui kelemahan dan pengosongan diri tersebut."
Melalui penderitaan, kita bukan ditinggalkan, apalagi dihukum atas kesalahan yang pernah kita lakukan. Justru melalui penderitaanlah, terkadang, mata kita menjadi lebih terbuka akan hadirnya Kristus dalam hidup kita. Kita dapat menjadi lebih bersyukur bahwa dari penderitaan kita memiliki waktu lebih intim dengan Tuhan, bahwa kita ini fana, bahwa Tuhan memiliki kuasa atas diri kita dengan derajat-Nya yang melampaui kita, dan bahwa kita merupakan bagian dari Karya-Nya. Mengutip dari dokumen yang sama artikel 21: "Jika kita berbagi dalam penderitaan Kristus, maka pada saat yang sama, kits sedang menderita bagi Kerajaan Allah. Di hadapan Allah yang adil, pada hari penghakiman, mereka yang berbagi dalam penderitaan Kristus menjadi layak bagi Kerajaan tersebut. Karena melalui penderitaan mereka, dengan pengertian tertentu, mereka membayar kembali harga yang tak ternilai dari Penderitaan dan kematian Kristus, yang menjadi harga Penebusan kita: dengan harga inilah Kerajaan Allah mendapatkan satu anggota baru dalam sejarah manusia, semakin mewujudkan kehadirannya di tengah-tengah manusia."
Santo Paulus dalam khotbahnya di Roma juga mengungkapkan bahwa penderitaan justru membawa kita dalam pengharapan: "Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (TB Rm 5:3-5).
Melalui penderitaan, kita menumbuhkan kembali kecintaan kita pada Tuhan dan Gereja. Melalui penderitaan, kita memaknai kembali arti hidup kita yang merupakan karya rancangan penyelamatan Allah. Melalui penderitaan, kita memperoleh kembali pengharapan kita akan hidup abadi bersama-Nya kelak.
Jadi, yang dapat bisa kita refleksikan adalah: “Bagaimana cara kita memandang ‘penderitaan’?”. Memang tidak ada orang yang mau menderita, namun ada kalanya bagi kita untuk mundur satu langkah dan melihat secara lebih holistik mengenai rencana Tuhan dalam hidup kita. Serupa dengan Kristus yang menerima penderitaan sebagai kepasrahan-Nya akan rencana Bapa, kita pun layaknya memasrahkan segala diri dan persoalan kita kepada diri-Nya. Kita dan segala penderitaan kita, ada di grand design milik Tuhan.
"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” – Mat. 26:39
Surabaya, 10 Februari 2020,
dalam rangka memperingati Hari Orang Sakit Sedunia pada 11 Februari 2020.