Menjadi Orang Kudus, Mungkinkah?

26 November 2021
Menjadi Orang Kudus, Mungkinkah?

Oleh : Sr M Paskalia SFS @pask_aliasfs

Kalau misalkan Sobat YOUCAT mendengar kata “orang kudus”, apakah yang terlintas di pikiran kalian? Apakah ketika melihat seseorang yang selalu tenang, senantiasa berusaha melakukan kebaikan, tidak ikut-ikutan melakukan hal yang kurang baik, apakah demikian? Atau mungkin orang yang kerjaannya berdoa saja dan selalu di Gereja serta melayani?

Kita semua ingin menjadi orang kudus, namun apakah mungkin? Kelihatannya susah sekali jika mengingat bahwa orang kudus itu selalu identik dengan orang yang selalu melakukan kebaikan dan kebenaran. Lha kita sendiri aja tiap hari bisa jatuh dalam dosa? Ketika menyebut kata “kudus”, rasanya seperti dalam khayalan saja. Eits, jangan menyerah dulu, Sobat YOUCAT! Kita percaya bahwa dengan rahmat Tuhan, kita akan dimampukan untuk mencapai kekudusan. Yuk kita mau mengenal 5 (lima) ciri kekudusan menurut Gaudete Ex Exultate, dimana ciri ini bisa kita latih dalam kehidupan sehari-hari!

Lima Ciri Kekudusan Dalam kerangka besar kekudusan yang disajikan dari Sabda Bahagia dan Matius 25:31-46 kepada kita, ada beberapa ciri atau sikap rohani yang perlu untuk dipahami, apa cara hidup yang dikehendaki Tuhan bagi kita, yang dapat membantu kita menuju kekudusan.

1. Ketekunan, Kesabaran dan Kelemahlembutan

Yang pertama dari ciri-ciri penting tersebut adalah tetap berpusat, teguh di dalam Allah yang mengasihi serta menopang kita. Sumber dari kekuatan batin ini tidak hanya memampukan kita untuk bertekun di tengah naik-turunnya kehidupan, namun juga untuk menanggung kebencian, pengkhianatan, dan kesalahan dari pihak sesama. Hal inilah sumber kedamaian yang ditemukan dalam diri orang-orang kudus. Kekuatan batin tersebut memungkinkan bahwa, di tengah dunia yang melaju cepat, labil dan agresif ini, kesaksian tentang kekudusan dilakukan lewat kesabaran dan keteguhan dalam kebaikan. Hal ini merupakan tanda kesetiaan yang lahir dari kasih, sebab mereka yang menaruh kepercayaan kepada Allah (pístis) dapat pula setia kepada sesama (pistós). Mereka ini tidak akan meninggalkan sesamanya di saat-saat buruk; mereka menemani mereka di tengah kegelisahan dan kesulitan mereka, juga kalau hal itu tidak memberikan kepuasaan segera baginya.

Santo Paulus mengajak umat Kristiani di Roma agar tidak “membalas kejahatan dengan kejahatan” (lih Rom 12:17), menuntut pembalasan (bdk. Rom 12:19), dan tidak dikuasai oleh kejahatan, namun sebaliknya, “mengalahkan kejahatan dengan kebaikan” (Rom 12:21). Sikap ini bukanlah tanda kelemahan, namun tanda kekuatan sejati, sebab Allah sendiri “panjang sabar dan besar kuasa” (Nah 1:3). Sabda Allah memperingatkan kita untuk “membuang segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah, demikian pula segala kejahatan” (Ef 4:31).

Kita perlu berjuang dan berjaga-jaga menghadapi kecenderungan agresif dan mementingkan diri sendiri, dan jangan biarkan semua itu mengakar. Sangat penting diperhatikan bahwa kadang-kadang dengan dalih membela perintah-perintah lain, mereka menyangkal sepenuhnya perintah kedelapan, “jangan bersaksi dusta”, dan menjelekkan sesama secara kasar. Di sini terwujud dengan tanpa kontrol bahwa lidah adalah “dunia kejahatan” dan “menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka” (lih Yak 3:6).

Keteguhan batin, sebagai buah karya rahmat, menghindarkan kita agar tidak terseret oleh kekerasan, yang menyerbu kehidupan sosial, sebab rahmat menyurutkan kesombongan serta memungkinkan kelemah-lembutan hati. Para orang kudus tidak membuang-buang energi untuk mengeluh tentang kerapuhan sesama; mereka dapat menjaga lidahnya berhadapan dengan kesalahan sesamanya, dan menghindari kekerasan verbal yang menghancurkan dan memperlakukan sesama dengan buruk. Mereka tidak mau memperlakukan sesama secara kasar, sebaliknya mereka menganggap sesama lebih utama daripada dirinya sendiri (lih Fil 2:3)

Kerendahan hati hanya dapat berakar di dalam hati melalui perendahan diri. Tanpa itu tidak akan ada kerendahan hati atau kekudusan. Kalau Anda tidak sanggup menanggung dan mempersembahkan sedikit perendahan diri, Anda tidak rendah hati dan Anda tidak di jalan kekudusan. Kekudusan yang dianugerahkan Allah kepada Gereja-Nya datang melalui perendahan diri Putra-Nya: inilah jalannya. Perendahan diri menjadikan Anda menyerupai Yesus; itu adalah bagian yang tak terhindarkan dari mengikuti jejak Kristus: “Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1Ptr 2:21).

2. Sukacita dan Rasa Humor

Para kudus mampu hidup dengan sukacita dan rasa humor. Tanpa lari dari kenyataan, mereka memancarkan semangat positif dan kaya akan pengharapan bagi sesama. Menjadi orang kristen adalah “sukacita dalam Roh” (Rom 14:17), sebab “cinta kasih seharusnya diikuti sukacita. Karena siapa yang mengasihi selalu menikmati kesatuan dengan yang dikasihi. Maka kasih diikuti sukacita.”

Setelah menerima karunia yang indah dari sabda Allah, kita menyambutnya “dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (1Tes 1:6). Kalau kita membiarkan Tuhan menarik kita keluar dari tempurung diri kita dan mengubah hidup kita, kemudian kita akan dapat melakukan apa yang disampaikan Santo Paulus kepada kita, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Fil 4:4).

3. Keberanian dan Gairah

Kekudusan adalah sekaligus parrhesía, yakni keberanian, suatu dorongan untuk mewartakan Injil dan meninggalkan suatu tanda di dunia ini. Untuk memungkinkan hal itu terjadi, Yesus sendiri datang menjumpai kita dan mengatakan kembali dengan tenang dan tegas kepada kita: “Jangan takut” (Mrk 6:50) ; “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20). Kata-kata tersebut memungkinkan kita untuk berjalan dan melayani dengan sikap penuh keberanian yang dibangkitkan Roh Kudus dalam diri para rasul dengan mendorong mereka untuk mewartakan Yesus Kristus.

Keberanian, antusiasme, kebebasan untuk berbicara, gairah rasuli, itu semua termasuk ke dalam kata parrhesía. Kitab Suci juga menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan kebebasan hidup yang terbuka bagi Allah dan sesama (lih Kis 4:29; 9:28: 28:31; 2Kor 3:12; Ef 3:12; Ibr 3:6; 10:19).

4. Dalam Komunitas

Kalau kita hidup terpisah dari sesama, sangatlah sulit untuk melawan nafsu, jerat perangkap, serta godaan iblis dan dunia yang egoistis ini. Diberondong oleh berbagai macam godaan yang memikat, jika kita terlalu kesepian, dengan mudah kita kehilangan kepekaan akan realitas dan kejernihan batin, dan menyerah.

Kekudusan adalah perjalanan komunitas, kita melihat ini dalam beberapa komunitas kudus. Dalam beberapa kesempatan, Gereja telah mengkanonisasi segenap komunitas yang telah menghayati Injil secara heroik dan mempersembahkan kehidupan semua anggotanya kepada Allah. Kita dapat mengingat, sebagai contoh, tujuh pendiri Ordo Hamba-hamba Santa Maria, tujuh Beata suster-suster dari biara pertama tarekat Visitasi di Madrid, Paulus Miki dan kawan-kawan para Martir Jepang, Martir Korea Santo Andreas Kim Taegon dan kawan-kawan, atau para martir Amerika Selatan Santo Roqus Gonzáles, Santo Alfonsus Rodrígues dan kawan-kawan. Kita perlu mengingat pula kesaksian belum lama ini dari para Trapist di Tibhirine, Aljazair, yang bersama-sama mempersiapkan diri untuk kemartiran. Demikian pula ada banyak suami-istri kudus, di mana setiap pasangan menjadi pengudusan untuk yang lain.

Hidup atau bekerja bersama sesama tentu menjadi jalan pertumbuhan rohani. Santo Yohanes dari Salib mengatakan kepada salah seorang pengikutnya, “Hiduplah dengan yang lain agar Anda bekerja dan berlatih dalam kebajikan”. Setiap komunitas dipanggil untuk menciptakan “ruang teologis untuk mengalami kehadiran mistik Tuhan yang bangkit.” Berbagi Sabda dan merayakan Ekaristi bersama mempererat persaudaraan dan mengubah kita tahap demi tahap menjadi komunitas yang kudus dan misioner. Hal itu juga meningkatkan pengalaman mistik autentik yang dihidupi dalam komunitas. Demikian yang terjadi pada diri Santo Benediktus dan Santa Skolastika, atau perjumpaan rohani yang indah yang dihayati oleh Santo Augustinus dan ibunya Santa Monika.

“Ketika harinya sudah dekat dimana ia harus meninggalkan kehidupan ini, hari yang Kauketahui tetapi tidak kami ketahui, terjadilah, yang saya percayai sebagai rancangan rahasia-Mu, bahwa hanya dia dan aku berdiri, bersandar pada jendela yang menghadap ke taman rumah yang kami tinggali... Kami membuka lebar hati kami untuk meneguk air dari aliran mata air-Mu, mata air kehidupan, yang ada pada-Mu….. Dan sementara kami membicarakan dan merindukan Engkau [Sang Kebijaksanaan], kami sedikit menangkapnya dengan segenap daya gerak akal budi […sedemikian bahwa] hidup kekal [mungkin menyerupai] saat pengenalan yang membuat kami menghela nafas.”

5. Dalam Doa yang Terus-Menerus

Akhirnya, sungguh pun semua tampak jelas, kita harus mengingat bahwa kekudusan dibentuk dalam keterbukaan terus-menerus kepada transendensi, yang terungkap dalam doa dan adorasi. Para kudus adalah orang-orang dengan semangat doa yang membutuhkan komunikasi dengan Allah. Mereka tidak tahan terperangkap dalam kelekatan akan dunia ini, dan di tengah-tengah daya-upaya dan pemberian diri, mereka merindukan Allah, keluar dari dirinya sendiri dalam pujian dan memperluas batas-batasnya dalam kontemplasi akan Tuhan. Tidak mungkin ada kekudusan tanpa doa, walaupun doa tersebut tidak perlu panjang atau melibatkan emosi yang kuat.

Santo Yohanes dari Salib menganjurkan untuk “berusaha senantiasa tinggal di hadapan Allah, entah riil, imajinatif ataupun unitif, sejauh karya memungkinkannya.” Akhirnya, kerinduan akan Allah mau tak mau harus diungkapkan dengan berbagai cara melalui hidup kita sehari-hari: “Bertekunlah dalam doa tanpa mengabaikannya, bahkan di tengah-tengah kesibukan lahiriah. Entah kamu makan atau minum, entah berbincang dengan orang lain atau melakukan apa pun juga, inginkanlah Allah selalu dan tambatkanlah hatimu kepada-Nya.” Namun, agar hal itu mungkin, perlu juga saat-saat yang dikhususkan hanya untuk Allah, dalam keheningan bersama Dia. Bagi Santa Theresia Avilla, doa adalah “hubungan persahabatan yang intim, dan perbincangan yang sering dijalin dalam kesendirian, hanya dengan Dia, yang kita tahu mencintai kita.” Doa yang dipenuhi dengan kepercayaan merupakan suatu tanggapan hati yang terbuka untuk menjumpai Allah dari muka ke muka, di mana semua suara diam untuk mendengarkan suara Tuhan yang lembut bergema di dalam keheningan.

Nah, sudah tahu ‘kan, Sobat, apa saja 5 ciri kekudusan itu. Kekudusan bukan hanya milik para malaikat atau Santo-Santa saja! Dan kita patut bersyukur akan kekayaan rohani dari Gereja Katolik. Kita benar–benar dipanggil, dibimbing, diajari untuk menjadi kudus. Setelah mengetahui cara dan ciri dalam kekudusan, tugas kita adalah mencoba melakukan dalam kehidupan setiap hari. Yang terpenting adalah KONSISTEN, dan bagaimana kita selalu bergantung kepada rahmat Allah dalam perjalanan rohani kita setiap hari!

Kita dipanggil untuk menjadi kudus, kekudusan itu milik kita. Jadi, tunggu apa lagi? Yuk segera mulai, jangan ditunda lagi!

*“ Mari kita mulai, karena sampai saat ini kita belum berbuat apa-apa”.

  • Santo Fransiskus Assisi
  • *