Menyelami Ketegaran dan Kesetiaan Ibu Maria dalam Jalan Salib Yesus Kristus
Author: Andreas Nanda
Apakah Sobat pernah mendengar mengenai 7 (tujuh) dukacita Bunda Maria? Lewat refleksi akan tujuh dukacita Maria, kita semua mengenal akan dukacita dan sengsaranya yang begitu mendalam melewati batas manusia selama hidupnya sebagai seorang ibu Kristus. Semua bermula dari penyerahan diri Maria kepada kehendak Allah, kemudian dilanjutkan dengan nubuat Simeon yang mengatakan, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2:35), lalu pengungsian ke Mesir, hingga akhirnya ia menemani Putranya di jalan salib. Pada kesempatan ini kita tidak akan membahas tentang semua hal itu, namun kita akan lebih berfleksi terutama pada Bunda Maria dalam jalan salib Kristus.
Sebuah pertanyaan muncul dari St. Anselmus, yang seolah-olah ditanyakan kepada Bunda Maria, “Yakinkah engkau bahwa engkau sanggup memandang Dia, yang adalah hidupmu sendiri, tergantung di salib?". Kita semua mengenal Bunda Maria sebagai figur seorang ibu dan wanita yang begitu tegar, begitu kuat, dan begitu taat pada kehendak Allah, bagaimanapun situasi yang harus dialaminya. Semua itu terlihat jelas terutama ketika ia tetap setia bersama Yesus sepanjang jalan salib.
Jika kita berada di posisi Maria, apa yang akan kita rasakan ketika melihat anak yang kita kandung dan kita besarkan harus menderita begitu hebat? Tentu perasaan kita akan hancur, demikian juga Maria. Butuh keteguhan dan kekuatan yang begitu luar biasa untuk dapat bertahan hingga akhir, tidak hanya bertahan melihat Putranya mengalami sengsara fisik dan mental -didera, difitnah, diludahi, ditinggalkan- namun juga hingga wafat di salib.
Itu semua dialami oleh Maria. Dengan ketegaran hatinya, Bunda Maria tetap mengikuti langkah demi langkah kaki Yesus yang telah bercucuran darah menuju ke Bukit Kalvari. St. Bernardinus sendiri pernah mengungkapkan *“Andaikata segala derita sengsara di seluruh dunia dijadikan satu, masih tidak akan sebanding dengan dukacita Perawan Maria yang mulia”. *
Nah, bagaimana jika misalkan kita yang berada di posisi Bunda Maria? Bagaimana jika ada bagian yang begitu penting dalam hidup kita dan selama ini begitu kita jaga, kita pelihara, bahkan kita perjuangkan dalam hidup, tapi tiba-tiba “diambil” begitu saja? Yang tiba-tiba harus hilang, hancur, rusak, menderita, sakit, dan mengalami hal menyakitkan lainnya? Apakah kita semua sanggup melalui semua itu dengan setia, tetap memandang Yesus, dan mau menyerahkan semuanya kepadaNya? Ataukah kita justru melarikan diri dari itu semua dan menyalahkan Yesus?
Setiap dari kita memiliki salib yang berbeda. Namun respon kita dalam memikul salib itulah yang akan menentukan bagaimana perjalanan kita nantinya. Marilah kita semua belajar dari Bunda Maria. Bunda Maria tetap taat dalam deritanya ketika ia harus memandang Yesus, yang adalah hidupnya sendiri, tergantung di salib. Ia tidak lari dari itu semua, namun ia tetap taat hingga akhir dan tetap menaruh pandangannya dengan penuh kasih kepada Yesus.
Memang terkadang sebagai manusia, kita begitu melekat pada apa yang kita miliki dan perjuangkan, tanpa menyadari bahwa itu semua adalah titipan dan rahmat dari Tuhan. Bukan berarti kita tidak boleh merasa sedih ketika kita kehilangan sesuatu yang berharga, namun janganlah berlarut-larut sampai menyebabkan kita melepaskan pandangan dari Yesus. Ketika kita merasa begitu lemah dan tak berdaya memikul salib, maka marilah kita memandang Yesus yang tersalib. Kita berdiri sejenak di kaki salibNya bersama Bunda Maria. Kita mau menimba kekuatan di sana untuk terus melangkah hingga akhir.