Social Distancing = Spiritual Distancing?
Sobat Youcat,
Sudah sekian minggu kita menjalani Social Distancing, atau bahkan Self Lockdown, karena wabah virus Covid 2019. Walau awalnya terdengar mudah dan menyenangkan, berdiam diri di rumah ternyata kadang membuat frustasi. Apalagi, kita seakan mengalami Spiritual Distancing, terasa jauh dari Tuhan dan GerejaNya. Kita merasa terputus karena tidak bisa menghadiri Misa secara langsung, dan Misa online mungkin terasa kurang “afdol” bagi beberapa orang.
Sobat Youcat,
Sebenarnya, masa pengasingan diri ini adalah kesempatan emas bagi kita untuk berpartisipasi dalam Spiritual Communion bersama Tuhan kita. Walau kita tidak bisa menyatukan diri secara fisik dalam Komuni Kudus, kita dapat menyatukan penderitaan kita ini bersama penderitaan Yesus yang tersalib. Saya mengundang teman-teman untuk mempersembahkan setiap pergumulan karena wabah virus ini dalam penderitaan Yesus melalui Peristiwa Sedih Rosario.
1. Yesus Berdoa di Taman Getsemani Menjelang datangnya maut dan dalam kesedihan, Yesus berdoa pada Bapa sendirian dalam Taman Getsemani. Ia merasa sepi karena Ia tahu murid-muridNya nanti akan meninggalkan dan mengingkariNya sementara Ia disalib. Di tengah kesepianNya, Ia berkata,"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Ia tahu bahwa Bapa tidak meninggalkanNya sedetikpun. Ia mengalami sepi tapi tidak kesepian.
Kita mungkin awalnya tidak terasa sepi selama menjalani Social Distancing karena penuh dengan pekerjaan kantor, tugas sekolah, dan pekerjaan rumah. Tapi, setelah sekian lama, hati kita merasa kesepian karena terisolasi dari sahabat dan keluarga. Kita mungkin mencoba mengisi kekosongan itu dengan Youtube, Netflix, atau Playstation, tapi rasa sepi dan kosong itu tetap ada. Social Distancing ini adalah momen bagi kita untuk menyadari apakah, atau bahkan, siapakah yang kita cari dalam hidup ini. Di tengah kegelisahan dan kesepian ini, Tuhan bertanya,”Siapakah yang kamu cari?” (Yoh 18.7).
2. Yesus Dicambuk “Ini tidak adil!”, jerit Bunda Maria ketika Pilatus menyerahkan Yesus pada para serdadu untuk dicambuk. Ia protes karena PutraNya yang tidak bersalah harus dihukum, padahal yang Ia lakukan selama ini adalah menyelamatkan dan menyembuhkan orang-orang. Tapi, Bunda Maria tahu dalam hati bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar, lebih dari yang ia pahami. Setelah kebangkitanNya, ia pun tahu rencana besar Allah akan terpenuhi.
“Ini tidak adil!”, jerit kita ketika tahu ada seorang yang kita kenal dekat terkena wabah virus itu. Kita protes pada Tuhan karena kita merasa seharusnya Tuhan melindungi umatNya di tengah wabah ini. Apalagi, orang yang kita kasihi itu adalah orang yang baik, yang menolong banyak orang dalam hidupnya. Di mata dunia, Tuhan tampak tidak adil karena membiarkan wabah ini terjadi. Tapi, hanya dengan mata imanlah kita bisa memahami maksud Tuhan di baliknya. Mungkin, Social Distancing dan wabah ini mendorong kita untuk merenungkan apakah kita sungguh mempercayakan nyawa kita dan orang-orang terkasih kita, bahkan melampaui kematian, pada Tuhan.
3. Yesus Diberi Mahkota Duri Para prajurit memasangkan mahkota dari duri di kepala Yesus, memakaikan jubah ungu, dan mengolok-olokNya. Sungguh, perilaku ini tidak bisa diterima karena merendahkan martabat Yesus. Semisal mereka tidak tahu bahwa Yesus adalah Allah Putra, setidaknya mereka tidak perlu merendahkan harga diri Yesus sebagai sesama manusia kan? Namun, Yesus tidak membalas mereka. Yesus tahu bahwa martabatNya tidak akan ternoda oleh olok-olok para serdadu. Harga diri Yesus tetap kuat dalam ikatan cintaNya dengan Bapa.
Bisa jadi, virus Covid19 ini seakan menginjak harga diri kita. Sebelumnya, kita mungkin merasa mampu melakukan apapun karena pekerjaan kita mapan, kebutuhan kita tersedia, dan badan kita selalu sehat. Karena wabah ini, kita tidak bebas melakukan banyak hal yang dulu kita sangka ada dalam kendali kita. Uang dan jabatan kita tidak bisa membeli nyawa mereka yang meninggal karena virus. Rencana liburan dan bisnis kita terhambat karena ancaman resesi ekonomi. Bahkan, kita mungkin mulai khawatir apakah kehidupan kita bisa sama di akhir tahun ini. Ketakutan ini yang mendorong Thomas Schaeffer, Menteri Keuangan Negara Bagian Hesse, Jerman, untuk bunuh diri. Mungkin, Social Distancing ini adalah momen kita untuk merenung bahwa harga diri kita dan sesama kita sebagai manusia bukan terletak pada apa yang berada di bawah kendali kita, melainkan pada hubungan kita pada Allah, Penguasa segalanya.
4. Yesus Memikul Salib
Dalam perjalanan ke Golgota sambil memanggul salib, Yesus mengalami sentuhan dari dua orang: Simon dari Kirene dan Veronica. Simon disuruh oleh serdadu membantu memanggul salib Yesus, sementara Veronica mengusap wajah Yesus yang penuh luka, darah, dan peluh.vApa yang ada dalam pikiran mereka? Apakah Simon dari Kirene membantu Yesus dengan tulus sepanjang perjalanan? Apakah ia mengeluh dan terpaksa? Apakah Veronica tahu ia beresiko terseret dalam hukuman Yesus karena dianggap pengikut Yesus? Apakah tindakannya “ngefek” buat meringankan penderitaan Yesus?
Setidaknya, Simon dan Veronica melakukan sesuatu di tengah penderitaan sesama mereka, terlepas dari motivasi dan isi hati mereka. Di masa Social Distancing dan wabah ini, sangat mudah untuk bertindak egois dan mementingkan kelangsungan hidup diri kita dan keluarga kita. Kurangnya APD tenaga medis adalah buah dari keserakahan orang yang menimbun peralatan tersebut untuk kepentingan dan keuntungan diri. Mungkin kita salah satunya, dan momen ini adalah panggilan bagi kita untuk peduli untuk sesama yang juga menderita di tengah wabah ini. Tidak peduli seberapa remeh tindakan kita, pasti ada dampak positif yang bisa dirasakan sesama kita, setidaknya satu orang saja. One person at a time.
5. Yesus Wafat di Salib
Yesus mendengar dua perkataan yang bertentangan ketika Ia digantung di salib. Satu berasal dari orang-orang yang berkumpul menyaksikan penyaliban,”Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan! Ia Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya. Ia menaruh harapan-Nya pada Allah: baiklah Allah menyelamatkan Dia, jikalau Allah berkenan kepada-Nya! Karena Ia telah berkata: Aku adalah Anak Allah.” (Matius 27:39–43). Ucapan lainnya datang dari orang yang ada di sebelah kananNya,”Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Luk 23.42)
Memang, krisis wabah yang melanda dunia ini akan membawa orang pada pertentangan yang klise: Apakah Tuhan ada? Jika Tuhan ada, kenapa orang-orang mengalami wabah ini? Kenapa Ia tidak menyelamatkan manusia? Sama seperti saat penyaliban, ada dua jawaban, dan jawaban mana yang kita pilih ini penting karena kita akan memilihnya pada detik-detik akhir hidup kita. Mungkin ada orang yang saat ini memilih menjalani hidup tanpaNya karena merasa kenyataan hidupnya membuktikan bahwa Ia tidak ada atau tidak relevan. Ada juga yang memilih tetap percaya dalam pengharapan meskipun hingga saat ini belum melihat bukti. Apapun pilihannya, kita harus berani mempertanggungjawabkannya secara dewasa saat waktunya tiba kelak. Social Distancing mendesak kita untuk mengambil waktu dan menyelam dalam diri kita. Di hadapan ancaman kematian, manakah yang kita pilih?
Sobat Yocat,
Pada akhirnya, kita semua menghadapi masalah yang virus yang sama, dan kita semua memiliki Tuhan yang sama. Persembahkanlah setiap penderitaan, kegembiraan, pergumulan, dan harapan kita dan persatukanlah dengan penderitaan Yesus. Dengan begitu, kita akan melihat dan memperoleh rencana baik Allah di balik derita Social Distancing ini, sama seperti penyelamatan Yesus bagi manusia melalui penderitaan di kayu salib. Saat kita mendengar Yesus berkata,”Semoga persembahanKu dan persembahanmu berkenan pada Allah, Bapa yang Mahakuasa,” hendaknya kita berani menjawab,”Semoga persembahan ini diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita, serta seluruh umat Allah yang kudus.”
Jangan lupa Baca: Youcat 101-102, 475-476.