Tuhan Anugerahilah Kami Hati yang Baru
Tuhan, anugerahilah kami hati yang baru.
Hati yang bertobat dan mensyukuri kebaikan-Mu.
Hati yang berkobar menebar kasih-Mu.
Hati yang bahagia berserah diri kepada-Mu.
Hati yang gembira menikmati hidup kurnia-Mu.
Tuhan, anugerahilah kami hati yang baru.
Hati yang terbuka penuh perhatian dan pengertian.
Hati yang iklas menolong dan mengampuni.
Hati yang jernih, jujur, adil dan damai.
Hati yang setia, sabar dan tabah penuh harapan.
Tuhan, anugerahilah kami hati yang baru.
Syair di atas adalah lirik sebuah lagu yang diciptakan oleh almarhum Mgr. F. X. Prajasuta, yang pada waktu itu adalah Uskup Banjarmasin. Sebuah nyanyian yang sederhana, tetapi sungguh dalam maknanya. Sebuah permohonan kepada Tuhan supaya kita mendapatkan hati yang baru. Mengapa kita minta hati yang baru? Ada apa dengan hati yang lama? Menarik kalau kita mencermati dan merenungkan sejenak syair lagu itu. Kata-kata dalam lagu itu seolah mau mengajak kita untuk memeriksa batin kita masing-masing. Mau mengajak untuk melihat ke dalam diri kita sendiri, seperti apakah kondisi hati kita sekarang ini. Apakah kita sudah memiliki hati seperti yang dimohonkan dalam syair tersebut? Ataukah hati kita rupanya masih jauh dari semua itu?
Seraya memandang keadaan hati kita masing-masing, rupanya kita masih boleh bersyukur bahwa Gereja memiliki hari istimewa yang memperingati hati dari pribadi-pribadi istimewa. Sembilan belas hari setelah Hari Raya Pentakosta, Gereja merayakan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus dan segera keesokan harinya diperingati sebagai Peringatan Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria. Sebuah kesempatan yang istimewa bagi kita untuk belajar dari Tuhan Yesus dan Bunda Maria supaya pada akhirnya kita juga memiliki hati seperti hati mereka.
Kalau kita cermati, pelaksanaan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus berdekatan dengan Peringatan Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria. Hal ini seperti mau mengingatkan kita betapa dekatnya ikatan hati Tuhan Yesus dengan Bunda Maria. Ikatan hati yang tak terputus antara seorang ibu dengan anaknya. “Putera bersukacita atas hati Bunda-Nya, sumber darimana Ia mendapatkan Darah-Nya yang telah menebus kita”, demikian dikatakan Santo Yohanes Maria Vianney dalam katekesenya tentang Santa Perawan Maria. Sebuah ungkapan yang amat dalam dan indah.
Kedekatan hati Tuhan Yesus dengan Bunda-Nya juga hendak mengajak kita untuk melihat bagaimana relasi kita dengan orang-orang terdekat kita, dengan keluarga, sahabat, dan orang lain yang ada di sekitar kita. Kita lihat bagaimana kedekatan hati dibangun, seperti seorang ibu yang mengajak bicara anaknya yang masih bayi dan belum bisa bicara, kedekatan hati terbangun melalui kata-kata dan sentuhan kasih. Namun, sebaliknya kita juga mengalami ketika seseorang marah dan berteriak, ia berkata dengan keras kepada orang yang ada di dekatnya. Mereka berdekatan, tetapi hatinya berjauhan. Relasi Tuhan Yesus dan Bunda Maria tentu tak hanya sebatas fisik, sejak Bunda Maria melahirkan Yesus hingga memangku-Nya di kaki salib, tetapi tentu juga terbangun di situ sebuah kedekatan hati.
Selain berdekatan, pelaksanaan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus juga berurutan dengan Peringatan Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria. Artinya, yang satu mendahului yang lain. Secara kronologis, kita akan segera menduga bahwa tentu ibu akan hadir lebih dulu dari anaknya. Dengan demikian, perayaan Bunda Maria akan mendahului perayaan Yesus, putranya. Akan tetapi, penempatan kedua perayaan ini berbeda dengan yang kita pikirkan. Perayaan Hati Yesus yang Mahakudus dirayakan satu hari lebih dulu daripada Peringatan Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria. Hal ini seperti mau mengatakan bahwa Maria digambarkan sebagai pemberi teladan bagi kita dalam mengikuti Yesus.
Benar bahwa Maria adalah ibu Yesus. Namun, pada saat yang sama kita diingatkan bahwa bagi Maria tentu saja Yesus adalah juga Guru dan Tuhannya. Maria, dalam arti tertentu juga menjadi murid Tuhan. Kita ingat bahwa panggilan menjadi murid Yesus dalam Kitab Suci tidaklah seperti seorang murid yang hendak mendaftar ke sekolah, melainkan karena dipanggil oleh Sang Guru (bdk. Mat 4:18-22, Mrk 1:16-20, Luk 5:1-11, Yoh 1:35-51). Demikian pula yang terjadi dengan Maria. Sebelum Yesus memilih para murid-Nya, sudah ada Bunda Maria yang dipanggil oleh Allah untuk menjalani ketaatan seorang murid untuk terlibat dalam karya keselamatan.
Dalam perjalanan hidupnya, Bunda Maria terlihat sungguh menjalani sebuah formasi kemuridan dari Sang Putera. Kita ingat ketika Maria dan Yosef kebingungan mencari Yesus dan kemudian menemukan-Nya dalam Bait Allah. Maria menunjukkan kecemasan seorang ibu yang terpisah dari anaknya. Namun, ketika Yesus memberi jawaban, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku” (Luk 2:49), jawaban itu mau mengajak Maria untuk berubah dari seorang ibu, menjadi seorang murid. Memang pada akhirnya Maria menjadi murid yang sempurna karena ia dengan setia mengikuti perjalanan salib Sang Putera, yang juga adalah Gurunya.
Kita melihat betapa indahnya relasi Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Tentu saja itu semua terjadi karena mereka memiliki hati yang bersih, hati yang kudus, hati yang suci. Dari hati yang suci itu terpancar perkataan dan perbuatan yang mencerminkan kasih bagi pribadi-pribadi di sekitarnya. Mari kita melihat kembali syair lagu di atas. Secara konkret, hati semacam itulah yang mesti kita perjuangkan. Kita mohon kepada Tuhan, “Tuhan anugerahilah kami hati yang baru.”
Penulis: RD. Antonius Yanuardi